Mursyid Terbaik Yang Sangat Misterius
Maka, tidak heran jika Muhammad Ghazi Arabi, seorang peneliti tasawuf di jazirah Arab yang masih semasa dengan Syekh al-Kasanzan, menyatakan, “Khidir adalah guru kalangan sufi. Beliaulah yang menjadi penuntun dalam perjalanan panjang mereka. Maka, bagi para sufi, Khidir adalah guru, teman bicara, dan kawan terbaik yang pernah menyertai mereka. Dialah gurunya para syekh. Ia membimbing dan menuntun para salik, langkah demi langkah.”
Mereka Lebih Suka Menyebutnya Wali
sumber : http://rafystech.blogspot.com
Kalau ada manusia paling misterius di muka bumi ini, maka al-Khidirlah
orangnya. Beliau tokoh yang amat terkenal, tapi jejaknya lepas dari
pengamatan sejarah. Hanya cerita pribadi dari mulut ke mulut, tak
meninggalkan bukti sejarah apapun. Bahkan, meski memiliki kisah yang
unik dengan Nabi Musa, kitab Taurat maupun Injil tidak menceritakannya.
Kisah itu hanya diceritakan dalam al-Qur’an, meski tak secara langsung
disebutkan namanya.
Sisi misterius memang memainkan peran tersendiri dalam membentuk
ketokohan al-Khidir. Atas dasar itu, kalangan sufi menyebutnya sebagai
tokoh rijâlul ghaib. Syekh Abdul Qadir al-Jilani
menyatakan, “Di antara para wali ada orang yang sudah fanâ’
(menghilang) dari kebutuhan makan dan minum, menghindar dari umat
manusia dan tak terlihat oleh pandangan mata mereka, ia diberi umur
panjang, tidak mati-mati, seperti al-Khidir alaihis salam….”
Dalam banyak hal, kisah beliau bersama Nabi Musa menjadi sumber
inspirasi kehidupan batin para sufi, meski dalam beberapa hal pula, ada
beberapa oknum dari kelompok sufi yang salah paham, dan justru
menganggap kisah tersebut sebagai perseteruan antara ilmu zahir dan ilmu
batin, atau antara syariat dan hakikat. Bahkan, atas dasar kisah itu,
aliran Bathiniyah beranggapan bahwa syariat hanya berlaku untuk para
nabi dan kalangan awam, tidak berlaku untuk kalangan wali atau kalangan
khawâsh.
Al-Khidir memang begitu lekat dengan benak kaum sufi. Syekh Muhammad
al-Kasanzan, Khalifah Tarekat Qadiriyah dunia pada akhir Abad 14
Hijriah, menyatakan bahwa al-Khidir adalah ramzun lit-tharîq al-mûshil
ilal-hayât al-khadhrâ’ al-abadiyah. Berarti dalam anggapan beliau,
al-Khidir adalah semacam perlambang bagi jalan tasawuf.
Menurutnya, kata “khidr” adalah lambang kehidupan. Khidir memiliki akar
kata yang sama dengan khudrah yang berarti hijau. Hijau adalah lambang
kehidupan. Secara jasmani beliau hidup dalam masa yang panjang, dan
secara ruhani beliau adalah lambang kehidupan batin.
Kenyataannya, al-Khidir memang menjadi ikon yang tak tergantikan dalam
perjalanan kehidupan sufistik. Kisah para tokoh sufi, baik para wali
yang masyhur di tingkat dunia ataupun para wali yang masyhur di tingkat
lokal, nyaris tak pernah lepas dari dengan “bumbu” kedatangan beliau.
Bahkan, beliau terkesan seperti menjadi pemberi stempel bagi status
kewalian.
Karena banyaknya pengalaman mistik para sufi dengan al-Khidir ini, maka
mereka menjadi kelompok yang paling gigih dalam membela pandangan
teologis bahwa al-Khidir masih hidup. Bagi kalangan sufi, keberadaan
al-Khidir adalah nyata dan bersentuhan langsung dengan dunia empiris
mereka.
Dalam referensi-referensi tasawuf tidak terlalu sulit menemukan
kisah-kisah pertemuan para sufi dengan al-Khidir u. Seperti dalam
kisah-kisah Umar bin Abdil Aziz, Ibrahim bin Adham, Abdullah bin
al-Mubarak, al-Junaid al-Baghdadi, al-Khawwash, Ahmad ar-Rifa’i, dan tokoh-tokoh sufi masyhur yang lain.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tercatat memiliki kisah yang cukup banyak
dengan Al-Khidir. Al-Khidir menjadi semacam pembimbing bagi beliau,
mulai sejak tirakat pengembaraan selama 25 tahun, hingga beliau menetap
di Baghdad dan menjadi tokoh besar yang didatangi oleh para salik dari
seluruh penjuru dunia. Sebelum masuk ke Baghdad dan mengakhiri tirâkat
pengembaraannya, konon al-Khidir menyuruhnya untuk tirâkat di pinggir
sungai di tepi Baghdad selama 7 tahun. Beliau makan dari rumput dan
tumbuh-tumbuhan di sekitarnya, hingga warna hijau rumput membekas di
lehernya. Setelah itu, al-Khidir mengatakan, “Hai Abdul Qadir, masuklah
ke Baghdad.”
Selain Syekh Abdul Qadir al-Jilani,
tokoh sufi lain yang memiliki banyak kisah dengan al-Khidir adalah Ibnu
Arabi. Beliau menceritakan sendiri kisah-kisah itu dalam kitabnya
al-Futuhat al-Makkiyah
Maka, tidak heran jika Muhammad Ghazi Arabi, seorang peneliti tasawuf di jazirah Arab yang masih semasa dengan Syekh al-Kasanzan, menyatakan, “Khidir adalah guru kalangan sufi. Beliaulah yang menjadi penuntun dalam perjalanan panjang mereka. Maka, bagi para sufi, Khidir adalah guru, teman bicara, dan kawan terbaik yang pernah menyertai mereka. Dialah gurunya para syekh. Ia membimbing dan menuntun para salik, langkah demi langkah.”
Apa yang diungkapkan oleh Ghazi Arabi itu sangat pas dengan konsepsi
para sufi tentang al-Khidir. Pertemuan dengan al-Khidir selalu membawa
pesan yang sangat berharga bagi jalan suluk yang mereka tempuh. Bagi
mereka, al-Khidir memang pembimbing yang paling teduh, seteduh warna
hijau yang terpantul di dalam namanya.
Mereka Lebih Suka Menyebutnya Wali
Umumnya orang lebih suka menyematkan kata “nabi” kepada al-Khidir. Tapi
tidak dengan para sufi. Mereka merupakan kelompok yang paling gigih
menyatakan bahwa al-Khidir adalah Waliyullah. Pendiri tarekat Tijaniyah,
Syekh Abul Abbas at-Tijani, menyatakan, “Ketahuilah, al-Khidir itu
adalah seorang Wali, bukan Nabi menurut pendapat mayoritas.”
Syekh Ibnu Arabi menyatakan, “Perdebatan mengenai status al-Khidir,
apakah beliau nabi atau wali, hanya terjadi di kalangan ulama-ulama
zhâhir, bukan di kalangan kita (kalangan sufi atau kalangan batin).
Dalam pandangan kita, tak ada perdebatan, bahwa al-Khidir adalah wali,
bukan nabi.”
Lebih jauh, Syekh Muhammad al-Makki menyatakan bahwa dalam pandangan
kaum sufi, al-Khidir mencapai Maqâm al-Afrad. Maqâm ini berada di atas
para wali shiddiqîn tapi masih di bawah maqâm-nya para nabi.
Dalam istilah Ibnu Arabi, maqam ini disebut khatmul-auliya (pemungkas
para wali). Pada tingkat ini, seorang wali bisa melakukan penggabungan
di antara dua syariat. Juga, memiliki akses jalan pintas untuk memahami
kebenaran syariat tanpa melalui proses berpikir. Mula-mula derajat
khatmul-auliyâ’ dicetuskan oleh al-Hakim at-Tirmidzi, tokoh sufi dari
Balkh, dan sempat menjadi perdebatan sengit. Al-Hakim at-Tirmidzi bahkan
sempat diusir dari Balkh karena dianggap menyetarakan wali atau bahkan
melebihkan mereka atas para nabi.
Kecenderungan kelompok sufi menyatakan bahwa al-Khidir adalah wali
memiliki kaitan erat dengan anggapan mereka bahwa beliau adalah simbol
dan ikon bagi kalangan sufi. Sementara, tingkat spiritual yang menjadi
wilayah para sufi adalah kewalian.
Jika ditelusuri lebih lanjut, hal itu tetap bermuara pada kisah
pertemuan al-Khidir dengan Nabi Musa. Apa yang dilakukan oleh al-Khidir
saat itu sarat dengan urusan hakikat. Sementara, hakikat atau batin,
merupakan poros utama kalangan sufi dalam membangun pola pikir mereka.
Oleh karena itu, pernyataan al-Khidir sebagai wali ditolak oleh beberapa
kalangan di luar kelompok sufi. Mereka cenderung menyatakan bahwa
al-Khidir adalah nabi. Beliau mendapatkan wahyu dan syariat dari Allah
yang berbeda dengan syariat Nabi Musa. Karena beliau memang bukan umat
Nabi Musa, maka syariat yang digunakan juga bukan syariat Nabi Musa.
Jika status al-Khidir adalah wali, maka kisahnya bersama Nabi Musa
memberikan kesimpulan bahwa seseorang bisa melakukan sesuatu berdasarkan
ilham. Sebab, al-Qur’an sendiri memberikan pengakuan terhadap apa yang
dilakukan oleh al-Khidir dalam kisah itu. Padahal, penerima ilham
bukanlah orang yang maksum, masih mungkin salah.
Maka, menjadikan ilham sebagai landasan yang sah dalam melakukan sesuatu
berpotensi merusak tatanan syariat, kecuali jika ilham itu hanyalah
dipahami sebagai pijakan sekunder yang harus patuh sepenuhnya pada
ketentuan syariat.
Jadi, kubu ini beranggapan bahwa poros perdebatan status al-Khidir
sebetulnya terletak pada polemik mengenai kekuatan hakikat: apakah
hakikat bisa mem-bypass syariat?. Jika al-Khidir adalah nabi, berarti
kisah Musa-Khidir adalah kisah tentang perbedaan antara satu syariat
dengan syariat yang lain, dan itu sudah lumrah terjadi. Jika al-Khidir
adalah wali, maka kisah itu adalah kisah tentang kekalahan syariat dari
hakikat atau kekalahan wahyu dari ilham.
Anggapan tersebut boleh jadi benar, tapi mungkin juga lahir karena
kecurigaan yang berlebihan. Sebab, mayoritas ulama dari kalangan sufi
sangat menjunjung tinggi syariat, meskipun mereka tidak menentang status
al-Khidir sebagai wali.
Komitmen yang luar biasa terhadap syariat dengan sangat mudah kita temukan dalam berbagai pernyataan Imam al-Junaid, Imam al-Ghazali,
Abu Thalib al-Makki, dan ulama-ulama sufi yang lain. Padahal, Imam
al-Ghazali dan Abu Thalib al-Makki juga tidak menentang status al-Khidir
sebagai wali. Dalam Ihyâ’ dan Qutul-Qulub, dua ulama sufi itu sama-sama
mengutip mimpi Ibrahim at-Taimi. Ibrahim bermimpi bertemu Rasulullah r,
mengonfirmasi Hadis yang pernah diterimanya dari al-Khidir, apakah
Hadis itu betul dari beliau?. “Benar al-Khidir, benar al-Khidir. Semua
apa yang ia ceritakan adalah benar. Dia penghuni bumi yang paling alim.
Dia pemimpin pada wali abdal...” jawab beliau dalam mimpi Ibrahim.
Baik Imam al-Ghazali maupun Abu Thalib al-Makki sama-sama tidak
memberikan catatan apapun terhadap mimpi Ibrahim ini. Berarti secara
tersirat, beliau menyetujuinya. Padahal, beliau merupakan ulama sufi
yang sangat gigih dalam membela syariat.
Apapun status al-Khidir dalam kisahnya bersama Nabi Musa, hal itu tetap
tak mempengaruhi kekuatan syariat. Bagi siapapun syariat adalah pedoman
mutlak. Tanpa prinsip itu, tatanan keagamaan akan jadi amburadul.
0 komentar on Sayyidina al-Khaidir di Mata Kaum Sufi :
Post a Comment and Don't Spam!
terima kasih atas kunjungan anda...